
BERANDANUSNATARA.CO.ID, TARAKAN – Dr. Grandprix Thomryes Marth Kadja, M.Si., dosen muda Institut Teknologi Bandung (ITB) berusia 32 tahun, berhasil meraih dua pencapaian internasional pada 2024. Pada Agustus ia dianugerahi Penghargaan Achmad Bakrie ke-20 sebagai Ilmuwan Muda, sementara pada September masuk daftar ilmuwan Top 2% Dunia versi Elsevier dan Stanford University, berkat risetnya di bidang material nano untuk energi berkelanjutan yang dilakukan di Pusat Rekayasa Katalisis ITB.
Di usianya yang baru 32 tahun, Dr. Grandprix Thomryes Marth Kadja, M.Si. telah mengukir jejak prestasi yang membanggakan bagi Indonesia. Dosen muda Institut Teknologi Bandung (ITB) ini berhasil masuk dalam daftar ilmuwan Top 2% Dunia versi Elsevier dan Stanford University sejak September 2024, sebuah pencapaian yang jarang diraih peneliti seusianya.
Nama Grandprix sudah melejit sejak delapan tahun lalu. Pada 2016, saat usianya baru 24 tahun, ia sukses meraih gelar doktor di bidang kimia dari FMIPA ITB dengan predikat Cumlaude. Pria kelahiran Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu menuntaskan disertasi tentang zeolit sintesis, mekanisme, dan peningkatan hierarki zeolit ZSM-5.
Tahun 2024 menjadi salah satu titik penting dalam kariernya. Pada Agustus, Grandprix meraih Penghargaan Achmad Bakrie ke-20 untuk kategori Ilmuwan Muda atas dedikasinya di bidang material nano untuk energi berkelanjutan. Sebulan setelahnya, ia kembali membuat bangga dengan pengakuan dari Stanford University. “Lab kami adalah yang pertama mengembangkan MXene di Indonesia sejak tahun 2019,” ungkap Grandprix.
MXene sendiri merupakan material nano dua dimensi yang baru ditemukan pada 2011 dan kini menjadi salah satu kandidat terdepan dalam pengembangan energi bersih. Riset Grandprix mencakup katalis untuk memecah air menjadi hidrogen, membran pemurnian air, sensor nano berbasis emas, hingga sel surya. Temuan ini bukan hanya untuk akademik, tetapi juga berpotensi mendorong industri kimia dan teknologi ramah lingkungan di Indonesia.
Meski segudang penghargaan telah diraihnya, Grandprix tetap rendah hati. Baginya, apresiasi adalah bonus dari perjalanan panjang penelitian yang dimulai sejak masa sarjana. Ia menekankan bahwa tantangan terbesar peneliti muda di Indonesia adalah keterbatasan bahan dan fasilitas laboratorium. “Kuncinya kolaborasi. Kita harus membuat yang terbaik dari apa yang kita punya. Muda itu bukan soal usia, tapi soal semangat yang tidak pernah padam,” katanya.
Dukungan dari ITB serta jejaring kolaborasi internasional turut menjadi modal penting dalam kariernya. Ia pernah bermitra dengan peneliti dari National Taiwan University of Science and Technology, Kyushu University di Jepang, hingga Harvard University di Amerika Serikat. Dari perjalanan itu lahir berbagai publikasi ilmiah internasional dan paten yang memperkuat reputasinya di bidang material nano.
Ke depan, Grandprix yakin bahwa riset katalis akan menjadi kunci penting bagi Indonesia. Lebih dari 90 persen proses industri kimia membutuhkan katalis. Maka, inovasi yang lebih efisien dan berkelanjutan akan sangat berdampak pada energi, lingkungan, hingga manufaktur nasional. Bagi Grandprix, riset bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan kontribusi nyata untuk mengangkat nama Indonesia di panggung dunia. (hi)